Makalah Tasawuf
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan yang penuh dengan teknologi berkembang saat ini, manusia
semakin mengetahui sesuatu hal yang belum diketahui oleh para pendahulunya
melalui teknologi yang diciptakannya.Jika kita pikirkan sejenak, terlintas di
benak kita kekuasaan serta keagungan Tuhan yang Maha Esa dan begitu kecil dan
terbatasnya pengetahuan kita tentang ciptaan-Nya.
Atas dasar tersebut, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya harus mencintai
dan mengabdikan diri kepada Allah swt.Dengan kedua hal tersebut kita dapat
selalu berada didekatNya.
Tasawuf merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari cara bagaimana orang
dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhannya.Selain itu, tasawuf dapat
menjadikan agama lebih dihayati serta dijadikan sebagai suatu kebutuhan bahkan
suatu kenikmatan.
Dalam kesempatan kali ini, kami ingin membahas tentang pengertian
tasawuf, etimologi definisi dan komponen dasar berbagai istilah tentang asal
usul tasawuf.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang di maksud dengan ilmu Tasawuf?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf?
3.
Apa saja sumber ajaran Tasawuf?
1.3
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui Ilmu Tasawuf
2.
Untuk mengetahui sejarah perkembangan tasawuf
3.
Untuk mengetahui sumber ajaran
tasawuf
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Tasawuf
Secara etimologis, ilmu Tasawuf banyak diartikan oleh para ahli,
sebagian menyatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shuffah yang
berarti serambi masjid nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat anshar, ada
pula yang mengatakan berasal dari kata shaf yang berarti barisan, shafa
yang berarti bersih atau jernih dan shufanah yakni nama kayu yang
bertahan di padang pasir[1].
Adapun tentang definisi tasawuf
(sufi) yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi, diantaranya adalah sebagai
berikut:[2]
1.
Bisyri bin Haris mengatakan bahwa Tasawuf adalah orang yang
suci hatinya menghadap Allah SWT.
2.
Sahl at-Tustari : orang yang bersih dari kekeruhan, penuh
dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah, baginya
tiada beda antara harga emas dan pasir.
3.
Al-Junaid al-Baghdadi (Wafat 298 H): membersihkan hati dari
sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariah (kemanusiaan),
menjauhi hawa nafsu, berpegang pada ilmu kebenaran dan mengikuti syari’at
Rasulullah Saw.
4.
Abu Qasim Abdul Karim
al-Qusyairi: menjabarkan ajaran-ajaram Al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan
nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat dan menghindari sifat
meringankan terhadap ibadah.
5.
Abu Yazid al-Bustami: melepaskan diri dari perbuatan
tercela, menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan mendekatkan diri kepada
Allah.
6.
Ma’ruf al-Karkhi(Wafat 200 H): mengambil hakikat dan Tamak dari apa yang ada dalam
genggaman tangan makhluk.
Jika menelaah beberapa pengertian diatas, pengertian tasawuf tampaknya
bermakna bervariasi, hal ini dikarenakan perilaku dan status spiritual (Maqam)
yang berbeda dan dominan dalam diri mereka, seperti tawakkal, cinta kasih dan
rambu-rambu spiritual yang menjadi pengantar ke hadirat Tuhan semesta alam.[3]
Al-Thusi (w. 378 H) melansir beberapa definisi tasawuf di dalam kitabnya
yang monumental al-Luma’, seolah-olah betapa sulitnya memberikan definisi yang
bersifat jami’ mani’.
Definisi bisa disarikan dalam karakteristik Sufi yang disebutkan oleh
al-Thusi. Beliau mengatakan bahwa sufi adalah orang alim yang mengenal Allah
dan hukum-hukum Allah, mengamalkan apa yang diajarkan, menghayati apa yang
diperintahkan, merasakan apa yang mereka hayati dan melebur dengan yang mereka
rasakan[4].
Dari paparan al-Thusi diatas, dapat dirumuskan bahwa Tasawuf memuat dan
mengandung setidaknya lima unsur, yaitu Ilmu (Pengetahuan), Amal (Pelaksanaan),
Tahaqquq (Penghayatan), Wajd (Perasaan) dan Fana’
(Peleburan)[5].
2.2
Sejarah Perkembangan tasawuf
Benih ilmu tasawuf bermula pada masa khalifah ketiga, yakni ketika
terjadi peristiwa tragis dalam pembunuhan Utsman Ibn Affan ra, hal ini
berimplikasi terjadinya kekacauan dan kerusakan terhadap sebagian kaum
muslimin, sehingga para sahabat dan pemuka agama Islam berfikir untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam dengan berikhtiar kembali ke masjid
(I’tikaf) dan mendengarkan kisah mengenai targhib dan tarhib,
mengenai keindahan hidup zuhud[6].
Dalam sejarah perkembangannya, terdapat masa atau tahapan yang terjadi
terhadap ilmu Tasawuf, beberapa masa tersebut adalah masa pembentukan,
pengembangan, konsolidasi, falsafi dan masa pemurnian[7].
Berikut adalah penjelasan tiap-tiap perkembangan ilmu Tasawuf:
1.
Masa Pembentukan
Masa ini terjadi dalam abad Idan II hijriah, Hasan Basri dan Rabiah
Adawiyah muncul dengan ajaran khaufdan cinta, yakni mempertebal
takut atau taqwa kepada Tuhan, penyucian hubungan manusia dengan tuhan, selain
itu muncul gerakan pembaharuan hidup kerohanian dikalangan kaum muslimin.
Dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan, dianjurkan mengurangi makan (Ju’),
menjauh dari keramaian duniawi (Zuhud), mencela dunia (Dzammu al
dunya)[8].
Selanjutnya pada abad II Hijriah, tasawuf tidak banyak berbeda dengan
sebelumnya, meskipun penyebabnya berbeda.Penyebab pada abad ini terjadi karena formalism
dalam melakukan syariat agama (lebih bercorak fiqh) yang menyebabkan
sebagian orang tidak puas dengan kehidupannya. Sehingga sebagian orang aa yang
lari kepada istilah-istilah yang pelik mengenai kebersihan jiwa (thaharatun
nafs), kemurnian hati (naqyu al-qalb), hidup ikhlas, menolak
pemberian orang, bekerja mandiri dan berdiam diri.
Abu al-Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud Islam pada
abad I dan II hijriyah mempunyai karakter sebagai berikut[9]:
a.
Menjauhkan diri
dari dunia menuju ke akhirat yang berakar pada nas agama yang dilatarbelakangi
oleh sosiopolitik yang bertujuan
meningkatkan moral.
b.
Bersifat praktis, para pendirinya
tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas
kezuhudannya itu. Sedangkan sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan
kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan
mengingat Allah SWT. dan berlebih-lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak
kepada kehendak-Nya, dan berserah diri kepada-Nya. Tasawuf pada masa ini mengarah pada
tujuan moral.
c.
Motif zuhudnya
ialah rasa takut, yaitu rasa yang muncul dari landasan amal keagamaan secara
sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriyah, di tangan Rabi’ah
al-Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut terhadap
adhab-Nya maupun harapan terhadap pahala-Nya. Hal ini dicerminkan lewat
penyucian diri, dan abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.
d.
Menjelang akhir
abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnya di Khurasan, dan Rabi’ah
al-Adawiyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai
fase pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafi abad
III dan IV Hijriyah
2.
Masa Pengembangan
Pada abad III dan IV, tasawuf sudah bercorak
kefana’an (ekstase) yang menjurus ke
persatuan hamba dengan Khalik. Orang
sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (fana’fi al-Mahbub), bersatu dengan kecintaan(ittihad bi al-Mahbub), kekal dengan Tuhan(baqa’ bi al-Mahbub), menyaksikan Tuhan(musyahadah), bertemu dengan-Nya(liqa’)
dan menjadi satu dengan-Nya(‘ain al-jama’)
seperti yang diungkapkan oleh Abu Yazid al-Bushtham (261 H), seorang sufi dari
Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fana’ (lebur atau hancurnya perasaan) sehingga dia dianggap
sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini.
Sesudah Abu Yazid al-Busthami, lahirlah
seorang sufi kenamaan, yakni al-Hallaj (w. 309 H) yang menampilkan teori al-Hulul (reinkarnasi Tuhan). Al-Thusi
dalam al-Luma’nya menyatakan bahwa hulul adalah[10]
:
“Allah memilih suatu jisim yang
ditempati ma’na rububiyyah dan leburlah daripadanya ma’na basyariyyah”.
Menurut al-Hallaj,
manusia mempunyai dua sifat, yakni sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut).
Tuhan menciptakan manusia dalam “copi”-Nya[11].
Landasan pemikirannya didasarkan kepada surat Shad ayat 72, yaitu:
#sÎ*sù¼çmçG÷§qyàM÷xÿtRurÏmÏù`ÏBÓÇrr(#qãès)sù¼çms9tûïÏÉf»yÇÐËÈ
72. Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".
Unsur jasmani dari materi, sedang unsur
ruhaninya berasal dari roh Tuhan, percampuran antara roh manusia dengan Tuhan
diumpamakan oleh al-Hallaj bagaikan bercampurnya air dengan khamer, jika ada
sesuatu yang menyentuh-Nya, maka menyentuh aku. Namun sejauh itu, dia tidak
mengakui adanya peleburan dua hakikat, manusia dan Tuhan, akan tetapi keduanya
masih mempunyai jarak[12].
Pada akhir abad ke III orang berlomba-lomba menyatakan
dan mempertajam pemikirannya tentang kesatuan penyaksian (Wahdat al-Syuhud), kesatuan kejadian (wahdat al-Wujud) kesatuan agama-agama (Wahdat al-Adyan), berhubungan dengan Tuhan (ittishal), keindahan dan kesempurnaan Tuhan (Jamal dan Kamal), manusia sempurna (insan kamil), yang kesemuanya itu tak mungkin dicapai oleh para
sufi kecuali dengan latihan yang teratur (riyadhah).
Kemudian muncul Junaidi al-Baghdady meletakkan
dasar-dasar ajaran tasawuf dan thariqah, cara mengajar dan belajar ilmu
tasawuf, syekh, mursyid, murid dan murad, sehingga dia mendapat predikat Syekh al-Thaifah (ketua rombongan suci).
Tasawuf
pada masa ini, sudah berkembang menjadi madzhab, bahkan seolah sebuah agama
yang berdiri sendiri. Pada abad ke III dan IV Hijriah ini terdapat dua aliran
tasawuf, yakni tasawuf sunni yang memagari diri dengan Al-Qur’an dan al-Hadits
dengan mengaitkan keadaan dan tingkatan rohani pada keduanya.
Serta
tasawuf semi falsafi yang lebih cenderung pada ungkapan ganjil serta bertolak
dari keadaan fana’ terhadap pernyataan penyatuan penyatuan (ittihad atau
hulul).
3.
Masa Konsolidasi
Pada abad V Hijriah, diadakan konsolidasi antara kedua aliran pada masa
sebelumnya, hal ini ditandai dengan aanya kompetisi antar keduanya, yang
kemudian dimenangkan tasawuf sunni dan menenggelamkan tasawuf falsafi.
Dengan adanya kompetisi tersebut, pada masa ini tasawuf dinilai
mengadakan pembaharuan , yakni periode yang ditandai dengan pemantapan dan
pengembalian tasawuf ke dalam landasan al-Qur’an dan al-Hadits.Tokoh-tokoh pada
masa ini adalah ialah al-Qusyairi (376-465 H), Al-Harawi
(396 H), dan al-Ghazali (450-505 H).
al-Qusyairi (376-465 H) terkenal sebagai pembela teologi Ahlussunnah wal
Jama’ah, beliau mampu mengompromikan antara syariah dan hakikah
berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Beliau menekankan bahwa kesehatan batin
dengan berpegang teguh pada keduanya lebih penting daripada pakaian lahiriah[13].
Al-Harawi (396 H), sikapnya tegas dan tandas terhadap tasawuf, beliau
menganggap orang yang suka mengeluarkan
syathahat, hatinya tidak bisa tenteram atau dengan kata lain, syathahat itu muncul dari
ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, akan
membuat seseorang terhindar dari keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.
Al-Ghazali
(450-505 H), memilih
Tasawuf Sunni berdasarkan doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah, corak
tasawufnya bersifat psiko-moralyang mengutamakan pendidikan moral.
Beliau menilai negative terhadap syathahat, karena dua kelemahan yang dimilikinya, yaitu kurang
memperhatikan kepada amal lahiriah serta keganjilan makna yang tidak dipahami
maknanya.
4.
Masa Falsafi
Pada abad IV Hijriah, muncullah tasawuf falsafi atau tasawuf yang bercampur
dengan ajaran filsafat, yang dikompromikan dengan pemakaian term-term filsafat
yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat obyek
utama, dan menurut Abu al-Wafa bisa dijadikan karakter sufi falsafi, yaitu :
a. Latihan
rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya,
b. Iluminasi atau
hakikat yang tersingkap dari alam ghaib,
c. Peristiwa-peristiwa
dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau
keluar biasaan,
d. Penciptaan
ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyat).
Selanjutnya, pada abad VI dan VII
hijriah, muncul cikal bakal orde (tarekat) sufi kenamaan, seperti
tarekat Qadariyah, Suhrawardiyah, Rifa’iyah, Syadziliyah, Badawiyah dan tarekat Naqsyabandiyah.
5.
Masa Pemurnian
Pada masa ini, pengaruh
dan praktek-praktek Tasawuf kian tersebar luas melalui thariqah-thariqah, dan para sulthan serta pangeran tak segan-segan
pula mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi mereka.
Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan kian
jelas, penyelewengan dan sekandal melanda dan mengancam kehancuran reputasi
baiknya dengan
ditandainya munculnya bid’ah,
khurafat, mengabaikan syari’at dan
hukum-hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, berbentangkan diri
dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan
menampilkan amalan yang irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib
ditonjolkan[14].
Sehingga muncul
Ibn Taimiyah untuk menyerang semua itu, dengan mengembalikan ajaran tasawuf
berlandaskan alQur’an dan Al-Hadits.Kepercayaan yang
menyimpang diluruskan, seperti kepercayaan kepada wali,khurafat dan
bentuk-bentuk bid’ah pada umumnya.
Menurut Ibn Taimiyah yang disebut wali
(kekasih Allah) ialah orang yang berperilaku baik (shaleh), konsisten dengan syari’ah
Islamiyah. Sebutan yang tepat untuk diberikan kepada orang tersebut ialah Muttaqin, allah berfirman dalam suratYunus
: 62-63.
Iwr&cÎ)uä!$uÏ9÷rr&«!$#wêöqyzóOÎgøn=tæwuröNèdcqçRtøtsÇÏËÈúïÏ%©!$#(#qãZtB#uä(#qçR%2urcqà)GtÇÏÌÈ
62. Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
63. (yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.
Ibn Taimiyah mengkritik terhadap ajaran Ittihad, Hulul, dan Wahdat al-Wujud
sebagai ajaran yang menuju kekufuran (atheisme),
meskipun keluar dari orang-orang yang terkenal ‘arif (orang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat), ahli tahqiq (ahli
hakikat) dan ahli tauhid (yang
mengesakan Tuhan). Pendapat tersebut layak keluar dari mulut orang Yahudi dan
Nasrani. Mengikuti pendapat tersebut hukumnya sama dengan yang menyatakan,
yakni kufur. Yang mengikutinya karena kebodohan, masih dianggap beriman[15].
2.3
Sumber-sumber ajaran Tasawuf
Dalam ajaran tasawuf, terdapat berbagai sumber yang menjadi landasan
dasar dalam menjalani tasawuf, berikut adalah beberapa sumber ajaran tasawuf:
a.
Al-Qur’an sebagai landasan dasar
utama tasawuf karena berisi seruan untuk berlaku zuhud dan beribadah.
b.
Kehidupan zuhud Rasulullah, dan
c.
Kehidupan zuhud sahabat dan khulafaur
rasyidin
DAFTAR PUSTAKA
[1] Amin syukur, menggugat tasawuf:sufisme dan tanggung jawab social abad 21,Yogyakarta,2002, hal 8
[2] Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf , Jakarta,2004, hal.28
[3] Moenir Nahrowi Tohir, menjelajahi eksistensi tasawuf : Meniti Jalan Menuju Tuhan,Jakarta,2012, hal 3.
[4]Ibid, Hal 4.
[5] Ibid
[6] Amin syukur, menggugat tasawuf:sufisme dan tanggung jawab social abad 21,Yogyakarta,2002, hal 18
[7] Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Yogyakarta,2002. Hal 17.
[8]Ibid, Hal 19.
[9]Ibid, Hal 20.
[10]Ibid, Hal 22.
[11]Ibid Hal 23.
[12] Ibid
[13]Ibid, Hal 26.
[14]Ibid, Hal 31.
[15]Ibid, Hal 32.
Comments
Post a Comment